Nitizen.ID – Setiap 24 September kita memperingati Hari Tani Nasional. Namun, alih-alih menjadi momen syukur, peringatan ini lebih tepat disebut sebagai alarm keras bagi nasib petani Indonesia kian terpuruk.
Di balik jargon “lumbung pangan dunia”, petani justru kehilangan tanah, kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, sementara modernisasi pertanian hanya menjadi retorika.
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Nitizen.ID
+ Gabung
Kondisi paling nyata hari ini adalah menyusutnya kepemilikan lahan. BPS mencatat rata-rata petani hanya menguasai lahan di bawah 0,5 hektar.
Banyak pula yang menjadi buruh tani atau penyewa, bukan pemilik. Proses land grabbing melalui ekspansi perkebunan besar, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur membuat petani tercerabut dari akar kehidupannya.
Karl Marx menyebut kondisi ini sebagai alienasi: petani terasing dari tanah, tenaga, dan hasil kerjanya, karena semua dikendalikan oleh kepentingan modal.
Ironisnya, petani yang memproduksi pangan justru kesulitan memenuhi kebutuhan pangan keluarga mereka. Harga gabah tidak stabil, pupuk subsidi langka, layanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga petani minim.
Jika kita pinjam teori kebutuhan Abraham Maslow, petani bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan dasar pangan, kesehatan, dan rasa aman. Bagaimana mungkin negara menuntut mereka meningkatkan produktivitas, jika kehidupan sehari-hari masih penuh ketidakpastian?
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.